"I beg young people to travel. If you don’t have a passport, get one. Take a summer, get a backpack and go to Delhi, go to Saigon, go to Bangkok, go to Kenya. Have your mind blown. Eat interesting food. Dig some interesting people. Have an adventure. Be careful. Come back and you’re going to see your country differently, you’re going to see your president differently, no matter who it is. Music, culture, food, water. Your showers will become shorter. You’re going to get a sense of what globalization looks like. It’s not what Tom Friedman writes about; I’m sorry. You’re going to see that global climate change is very real. And that for some people, their day consists of walking 12 miles for four buckets of water. And so there are lessons that you can’t get out of a book that are waiting for you at the other end of that flight. A lot of people—Americans and Europeans—come back and go, ohhhhh. And the light bulb goes on"
- Henry Rollins
Semenjak menginjak umur 20 tahun rasanya semakin sering berpikir tidak karuan. Hidup ini entah mau dibawa ke mana. Di akhir 2013, saya diajak teman untuk pergi ke Thailand. Memang harus merogoh uang dari kantung orang tua tapi tidak ada salahnya bertanya siapa tahu diizinkan. Ya ternyata memang diizinkan. Sepanjang semester 4 kemarin saya belajar dengan giat dan sungguh-sungguh. Malu kalau udah minta banyak dari orang tua tapi nilai masih begitu saja. Pada semester itu saya dan tujuh teman saya yang lain menyusun rangkaian perjalanan yang akan ditempuh pada 3-11 Juni 2014, mau menginap di mana, mau ke mana saja, mau ngapain di sana sampai kalau kita ke sini naik apa ya, aman gak ya, biayanya berapa ya. Terima kasih kepada google karena kami dapat menemukan hampir semua pertanyaan kami.
Destinasi #1: Bangkok, Thailand (3-5 Juni 2014)
Berbekal tiket promo dari Tigerair Mandala (maskapai ini berhenti beroperasi semenjak 1 Juli 2014) dan bangun pagi buta untuk mengejar flight jam setengah delapan pagi, kami pergi ke Thailand. Agak terlambat karena kami baru masuk ke pesawat jam setengah delapan. Percakapan dalam hati pun dimulai pantas saja tiketnya murah karena pikiran saya flight pagi saja terlambat. Ketika hendak di lajur mau terbang, pilot mengatakan navigasi pesawat rusak dan kami harus kembali untuk diperbaiki sekitar 10 menit. Lima belas menit berlalu, tidak ada kabar juga. Sebelum saya mulai mengeluarkan kata yang tidak enak, pilot mengatakan navigasi pesawat tidak mungkin untuk diganti dalam waktu cepat dan kami harus turun menunggu kembali di gate sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dalam hati ini rugi berapa ya maskapai kalau sampai ganti pesawat, harus membongkar kembali muatan dan bagasi pasti lama sekali. Mungkin kita tidak diizinkan untuk pergi pada jam itu. Tak disangka ternyata pergantian pesawat ini cepat juga, tidak sampai satu jam. Selama 3 jam di pesawat pun terasa sangat membosankan.
Jam menunjukan pukul 12 siang, kami berdelapan sampai juga di Suvarnabhumi Airport. Bandara yang "menampung" pesawat yang kebanyakan bukan low-cost airline. Sampai di imigrasi Thailand kami sudah dikira warga asli sana. Terlebih pas keluar kami sudah antri di belakang bule-bule eropa/amerika tapi ditegur karena kami bisa keluar lewat jalur yang lain (pas kami perhatikan yang keluat dari jalur itu adalah warga asli Thailand) Berhubung hostel kami sangat dekat dengan stasiun BTS jadi kami memutuskan untuk mencoba transportasi umum di sana. Untuk sampai hostel sangat butuh perjuangan karena tidak semua stasiun terdapat eskalator atau lift, jadi kamu harus mengangkat koper kami untuk sampai ke hostel. Kami menginap di Lub D Siam Square. Tempatnya enak namun tidak ada lift jadi saya harus mengangkat koper saya sendiri sampai lantai 4.
Destinasi Belanja: Siam Paragon, Siam Center, MBK, Platinum Mall kalau di Bangkok pas weekend bisa ke Chatuchak Weekend Market.
Destinasi Jalan-Jalan: Asiatique Riverftont, Wat Arun, Grand Palace.
Saya suka sekali keramahan orang di sana. Seorang teman kami ditugaskan neneknya untuk membeli emas di Bangkok tepatnya di China Town. Ketika kami belanja di Platinum ada satu penjual yang bisa sedikit bahasa Indonesia dan sangat ramah. Ketika teman saya itu bertanya kepada sang penjual, penjual itu mengeluarkan kertas lalu menuliskan sesuatu dalam bahasa Thailand dan dia mengajarkan step by step agar kita sampai di sana. Mungkin memang keramahan orang di sana ya, mungkin mereka ingin kita dapat menikmati keindahan negeri mereka. Sering saya beli sesuatu contohnya di KFC atau 7-eleven, kasir-kasir di sana menyambut "Sa wat dee ka/krub" dilanjut dengan bahasa thai saya cuman geleng-geleng dan berucap dalam bahasa inggris kalau saya tidak bisa bahasa mereka (Efek dikira warga lokal Thailand) mereka langsung diam dan kami selanjutnya menggunakan bahasa isyarat sekiranya mereka juga tidak mengerti pasti yang mengantri di belakang saya langsung mengartikan maksud saya ke bahasa Thailand.
Destinasi #2: Phuket, Thailand (6-8 Juni 2014)
Bangkok - Phuket jaraknya tidak terbilang dekat sekitar 830 km, kalau di pulau Jawa jaraknya hampir sama dengan Jakarta ke Banyuwangi. Berhubung jarak yang tidak dekat itu kami berniat untuk naik pesawat namun tiket pesawat ke Phuket tidak ada yang murah. Jadi kami dengan niatan yang kuat dan berbekal doa diri sendiri dan orang tua, kami nekat naik bis. Di antara kami tidak ada yang berpengalaman untuk ke Phuket naik bis. Harga tiket bis sekitar 1000 baht (harga normal) entah kenapa pas dibayar hanya sekitar 800 baht, kata kasirnya karena ada diskon atau entah apa kami tidak mengerti. Keramahan mbak kasirnya ini sampai-sampai dia mengajarkan saya bahasa thai dan arti dalam bahasa inggris daftar harga bis ke Phuket. Bis berangkat sekitar jam 7 malam, tipe bis luar kota di Thailand kebanyakan yang saya lihat ada Bis Dua Tingkat, perasaan pertama agak sedikit takut dan was-was karena goncangan di atas pas bis berbelok sangat kencang. Bisnya sangat nyaman, enak sekali untuk tidur. Terbangun sudah jam 7 pagi, ketika cek lokasi di ponsel, bis ini sudah sampai di Provinsi Phuket. Jalanan menuju Bangkok - Phuket seperti jalur pantura jawa. Lurus dengan sedikit berbelok-belok. Perjalanan 830 km dapat ditempuh sepanjang 12 jam lumayan cepat (kecepatan bis rata-rata 70 km/jam). Sesampainya di Terminal Bus Phuket kami mencari info tentang bis menuju Hat Yai karena bis untuk ke Kuala Lumpur banyak dari Hat Yai. Lagi-lagi kasirnya hanya bisa Bahasa Inggris sedikit sekali jadi mungkin banyak miss dari apa yang kita maksud sama yang mereka mengerti. Alhasil kami beli tiket Phuket-Hat Yai-Kuala Lumpur sekitar 1000 baht dan mbak kasir menyuruh kita menelpon dia ketika hari keberangkatan untuk memberitahu kita bis yang mana dan di pier berapa.
Berhubung Phuket tidak memiliki transportasi publik yang sangat terintergrasi layaknya di Bangkok, maka selama di Phuket kami mengandalkan seorang travel yang sangat direkomendasikan banyak orang baik di grup Facebook atau kaskus, namanya Ladda bisa dihubungi lewat bbm (pin:7E0CE384 atau pin:27085B46) respon balasannya kalau kita baru tanya-tanya suka lama, harus bersabar sampai dibalas, tapi dia tidak pernah lupa membalas bbm walaupun agak lama. Bisa minta sesuai tujuan yang kita inginkan, kami mengambil paket city tour (400 baht) + phi phi islands tour (1200 baht) + simon cabaret show (vip class: 750 baht). Semua sudah termasuk antar dan jemput di hotel.
Di Phuket kami menginap di Holiday Inn Express Phuket Patong, tempatnya enak, ada kolam renangnya dan termasuk murah untuk ukuran hotel yang dipinggir pantai Patong. Untuk makanan di Patong dengan aman kita bisa makan seafood karena harga fast food di sini sangat mahal, lebih mahal daripada di Bangkok atau Jakarta mungkin pengaruh dari daerah wisata bule-bule mungkin ya.
Pada hari kedua kami pergi ke Phi-Phi Islands, buat snorkeling, berenang atau berjemur kece. Ternyata di rombongan kami banyak sekali orang kebanyakan memang turis asing (luar Phuket) bersama keluarganya atau pasangan yang lagi bulan madu. Kayaknya cuman kami berdelapan yang termasuk anak muda tanpa didampingi orang tua. Jadi kami berdelapan duduk di depan speed boat bersama 1 bapak dan anaknya beserta 1 pasangan yang lagi bulan madu. Ternyata duduk di depan itu sakit banget, pusing dan tidak aman terlebih ombaknya besar-besar jadi tidak bisa kayak di Titanic karena kalau berdiri aja bisa loncat ke laut. View di Phi-Phi Islands bagus menjual tebing-tebingnya mungkin karena pengaruh lokasinya yang didekat zona subduksi Andaman. Pemandangan bawah lautnya agak mengecewakan karena tidak sejernih dan beragam seperti di Karimun Jawa. Tapi melihat tebing-tebingnya sudah cukup memuaskan hati.
Sisa perjalanan di Phuket dihabiskan untuk berjalan-jalan mencari keramaian di Bangla Road (Soi Bangla) menghabiskan malam dan masa muda.
Destinasi #3: Kuala Lumpur, Malaysia (9-11 Juni 2014)
Menuju akhir dari perjalanan kami, untuk mencapai Terminal Bus Phuket dari Patong kami mengandalkan mini van dari ladda (per orang 100 Baht) karena jaraknya sekitar 40 km. Sesampainya di pintu terminal kami sudah disambut dengan mbak kasir yang waktu itu kita beli tiketnya, kita ditunjukan bis yang mana lalu kita disuruh untuk menunggu karena masih setengah delapan dan bis berangkat jam setengah sembilan. Pada pukul 8 pagi, serentak orang-orang yang ada di Terminal berhenti mengerjakan aktivitas dan berdiri ternyata dikumandangkan lagu nasional mereka, kami ikut berdiri untuk menghormati kebudayaan mereka. Perjalanan Phuket-Hat Yai sangat membosankan karena perjalanan pada siang hari jadi tidak bisa tidur dan TV yang ada pun memutar acara-acara Thailand yang kami tidak mengerti. Jadi di Bis-Bis Thailand ini tidak ada kenek layaknya Bis-Bis Indonesia, sebagai penggantinya ada semacam pramugari di pesawat yang membantu kita mencari tempat duduk, memberi minum, dan menanyakan mau turun di mana.
Sampai di Hat Yai sekitar pukul 5 sore, perut rasanya lapar. Kami berniat untuk mencari fast food untuk makanan yang halal, namun berhubung Hat Yai sudah dekat dengan Malaysia jadi kebudayaan Melayu sudah agak banyak di sini, terbukti dengan kami sudah mendengar obrolan melayu dan perempuan berjilbab. Akhirnya makan di pinggir terminal yakin halal karena yang jual berkerudung dan bisa bahasa melayu.
Ini pengalaman pertama saya masuk imigrasi lewat transportasi darat, jarak imigrasi Thailand - Malaysia sekitar 3 km, dan saya bingung ternyata di daerah perbatasan terutama yang di Thailand ternyata kehidupannya ramai sekali. Karena perjalanan malam jadi kami terasa lelah dan tidur di dalam bis (yang ada wifinya!) Sampai di Kuala Lumpur sekitar jam 6 pagi waktu Kuala Lumpur, namun suasananya seperti jam 5 pagi masih sepi namun sudah banyak pekerja-pekerja yang beraktifitas. Transportasi publik di Kuala Lumpur sangat baik dan terintergrasi jadi bisa kemana-mana naik kendaraan umum.
Kami menginap di Rainforest bed and breakfast, di daerah bukit bintang. Tidak begitu saya rekomendasikan karena kalau malam berisik (di sampingnya ada cafe atau pub), banyak kupu-kupu malam dan rawan jalanannya terlebih lumayan jauh dari LRT.
Tujuan kami di Malaysia: Pavilion Mall, Genting Highlands, KLCC dan Fahrenheit 88. Karena kami bingung mau ke mana lagi jadinya kami memutuskan untuk jalan-jalan saja di mall-mall di daerah bukit bintang.
Tanggal 11 Juni 2014 adalah hari yang menyedihkan untuk kami berdelapan, karena sekembalinya dari liburan ini kami dihadapkan dengan segala realita-realita kehidupan yang ada. Sekiranya perjalanan ini dapat bermanfaat untuk kami dan semuanya,